Rabu, 28 Desember 2016

Biopestisida Bacillus thuringiensis

#Hee kapan realisasi ? :D



1. Bakteri Patogen Serangga (Bacillus thuringiensis)
Salah satu alternatif pengendalian serangga hama yang aman bagi lingkungan dan makhluk hidup lain adalah pengendalian secara biologis dengan menggunakan insektisida mikroba. Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan salah satu jenis bakteri yang sering digunakan sebagai insektisida mikroba untuk mengontrol serangga hama seperti Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus thuringiensis mampu menghasilkan suatu protein yang bersifat toksik bagi serangga, terutama seranggga dari ordo Lepidoptera. Protein ini bersifat mudah larut dan aktif menjadi toksik, terutama setelah masuk ke dalam saluran pencemaan serangga. Bacillus thuringiensis mudah dikembangbiakkan, dan dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida pembasmi hama tanaman. Pemakaian biopestisida ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif yang timbul dari pemakaian pestisida kimia.
Bakteri penyebab penyakit serangga pada umumnya di bagi ke dalam dua kelompok besar, yakni bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri yang membentuk spora. Bakteri yang tidak membentuk spora terdapat dalam saluran pencernaan serangga, merupakan patogen yang potensial menyerang bagian pencernaan. Tingkat kematian karena bakteri patogen ini rendah. Sedangkan bakteri pembentuk spora menginveksi larva di dalam mesofagus, kemudian membentuk spora dan sporanya menyerang bagian tubuh serangga. Tingkat kematian karena bakteri patogen ini tinggi. Kebanyakan spesies bakteri entomopatogen yang diisolasi dari serangga yang sakit adalah bakteri yang tidak membentuk spora, akan tetapi untuk produksi komersial, bakteri yang membentuk spora lebih mudah untuk diformulasikan dan dapat di simpan lebih lama karena dalam bentuk spora bakteri tidak membutuhkan makanan.
Bakteri yang paling banyak dimanfaatkan sebagai insektisida hayati adalah species Bacillus thuringiensis (Bt). Salah satu keunggulan B. thuringiensis sebagai agen hayati adalah kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik artinya bakteri dapat mematikan serangga tertentu saja sehingga tidak beracun terhadap hama bukan sasaran atau manusia dan ramah lingkungan karena mudah terurai dan tidak menimbulkan residu yang mencemari lingkungan.
Klasifikasi Bacillus thuringiensis

Kingdom         : Eubacteria
Filum               : Firmicutes
Kelas               : Bacilli
Ordo               : Bacillales
Famili               : Bacillaceae
Genus              : Bacillus
Spesies            : Bacillus thuringiensis
b. Deskripsi
Bacillus thuringiensis adalah bakteri tanah gram positif, pembentuk spora, berbentuk batang dengan lebar 1,0 sampai 1,2 µm dan panjang 3,0 sampai 5,0 µm (Sembiring, 2004). Bakteri ini termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup di daun tanaman konifer maupun pada tanah. Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka bakteri ini akan membentuk fase sporulasi.
B. thuringiensis dibagi menjadi 67 subspesies (hingga tahun 1998) berdasarkan serotipe dari flagela (H). Ciri khas dari bakteri ini yang membedakannya dengan spesies Bacillus lainnya adalah kemampuan membentuk kristal paraspora yang berdekatan dengan endospora selama fase sporulasi III dan IV. Sebagian besar ICP disandikan oleh DNA plasmid yang dapat ditransfer melalui konjugasi antargalur B. thuringiensis, maupun dengan bakteri lain yang berhubungan. Selama pertumbuhan vegetatif terjadi, berbagai galur B. thuringiensis menghasilkan bermacam-macam antibiotik, enzim, metabolit, dan toksin, yang dapat merugikan organisme lain. Selain endotoksin (ICP), sebagian subspesies B. thuringiensis dapat membentuk beta-eksotoksi yang toksik terhadap sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia dan insekta.
Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah kemampuannya membentuk kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang mengandung toksin ( d – endotoksin ) yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponesial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sembilan puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan asam amino terbanyak terdiri dari asam glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa.
Kristal protein merupakan protoksin dalam bentuk protein murni yang kaya akan asam glutamate dan asam aspartat. Berdasarkan protoksinnya, Kristal protein memiliki berbagai macam bentuk antara lain bipiramidal, kuboidal, persegi panjang, dan jajaran genjang. Ada hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang pada salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan serangga dan ukuran molekul protein yang menyusun kristal, serta susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal.
Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika terjadi pemecahan dinding sel. Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian kepala serangga akan tampak terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau kuning, ketika membusuk.
Toksin Cry sebenarnya merupakan protoksin, yang harus diaktifkan terlebih dahulu sebelum memberikan efek negatif. Aktivasi toksin Cry dilakukan oleh protease usus sehingga terbentuk toksin aktif dengan bobot 60 kDA yang disebut delta-endotoksin. Delta-endotoksin ini diketahui terdiri dari tiga domain. Toksin tersebut tidak larut pada kondisi normal sehingga tidak membahayakan manusia, hewan tingkat tinggi, dan sebagian insekta. Namun. pada kondisi pH tinggi (basa) seperti yang ditemui di dalam usus lepidoptera, yaitu di atas 9.5, toksin tersebut akan aktif. Selanjutnya, toksin Cry akan menyebabkan lisis (pemecahan) usus lepidoptera. B. thuringiensis dapat memproduksi dua jenis toksin, yaitu toksin kristal (Crystal, Cry) dan toksin sitolitik (cytolytic, Cyt). Toksin Cyt dapat memperkuat toksin Cry sehingga banyak digunakan untuk meningkatkan efektivitas dalam mengontrol insekta. Lebih dari 50 gen penyandi toksin Cry telah disekuens dan digunakan sebagai dasar untuk pengelompokkan gen berdasarkan kesamaan sekuens penyusunnya.
c.  Substansi aktif
Istilah substansi aktif yaitu bahan-bahan yang mempunyai aktivitas tertentu yang dihasilkan oleh makhluk hidup, dan bahan aktif ini biasanya dapat bersifat positif pada makhluknya sendiri akan tetapi dapat bersifat negatif atau positif pada makhluk hidup lain.
Substansi aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme umumnya digolongkan menjadi dua macam, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Substansi aktif primer biasanya bersifat intraseluler atau terdapat didalam sel. Biasanya metabolit primer dihasilkan dalam jumlah yang relatif kecil. Substansi sekunder adalah hasil dari metabolisme didalam sel yang disekresikan keluar dari sel atau dikumpulkan dalam kantong-kantong khusus diantara sel atau jaringan didalam tubuhnya.
Bacillus thuringiensis membentuk spora yang membentuk kristal protein-toksin. Kristal tersebut bersifat toksik terhadap serangga. Penelitian Heimpel (1967) diketahui bahwa B. thuringiensis menghasilkan beberapa jenis toksin, seperti α(alfa), β(beta), γ(gamma)-eksotoksin, dan δ(delta)-endotoksin, serta faktor louse. Peneliti lain menginformasikan bahwa yang berperan penting sebagai insektisida adalah protein β-eksotoksin dan δ-endotoksin.
Berbagai macam B. thuringiensis diantaranya:
    1.   Bacillus thuringiensis varietas tenebrionis menyerang kumbang kentang colorado dan larva kumbang daun.
     2.   Bacillus thuringiensis varietas kurstaki menyerang berbagai jenis ulat tanaman pertanian.
     3.   Bacillus thuringiensis varietas israelensis menyerang nyamuk dan lalat hitam. 
    4.   Bacillus thuringiensis varietas aizawai menyerang larva ngengat dan berbagai ulat, terutama ulat ngengat diamondback.
d. Insektisida biologi berbahan aktif Bacillus thuringiensis
Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang dapat mengendalikan hama ulat daun, kumbang daun, dan kutu daun pada tanaman holtikultura. Bakteri B. thuringiensis cukup efektif untuk mengendalikan berbagai jenis hama dari golongan lepidoptera, coleoptera, dan hemiptera.
Senyawa toksin penting dalam upaya pengembangan produk bioinsektisida secara komersial. Karaterisasi kimia β-eksotoksin pertama kali diaporkan oleh Mc. Connel dan Richard. Peneliti tersebut mengatakan bahwa β-eksotoksin terdiri dari komposisi senyawa asam nukleat, seperti adenine, ribose, glucose, dan asam alarik dengan ikatan kelompok fosfat. Selain itu, β-eksotoksin diketahui bersifat termostabil, artinya bahwa senyawa tersebut tahan atau tidak rusak jika terkena suhu tinggi, maka digolongkan sebagai thermostabel eksotoksin, larut didalam air dan sangat beracun terhadap beberapa jenis ulat. Sementara α-eksotoksin bersifat sebaliknya, tidak stabil jika terkena panas. Senyawa tersebut diketahui beracun bagi mencit dan ulat (Plutella xylostella).
Reaksi toksisitas terhadap serangga dari δ-endotoksin dan strain B. thuringiensis terhadap serangga tampaknya juga sangat bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heimpel dan rekannya (1959 dan 1967) terhadap serangga Lepidoptera menunjukkan adanya respon yang berbeda terhadap δ-endotoksin.
Fenomena lain mekanisme kerja dari toksin bakteri B. thuringiensis yaitu, terjadinya mekanis intraseluler dari β-eksotoksin, sebagai substansi protein aktif yang bersifat racun, senyawa ini akan menghambat sintesa asam ribonukleat, dengan cara menghentikan proses katalisa polimerasi oleh DNA-dependen RNA-polymersae.
e. Mekanisme Patogenisitas
Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang pada sel sehingga sel mengalami lisis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan pencernaan dan mati.

f. Cara Isolasi
Isolat Bacillus thuringiensis dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif adalah dengan seleksi asetat. Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media pertumbuhan bakteri (misal LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media asetat tersebut menghambat pertumbuhan spora B. thuringiensis menjadi sel vegetatif. Setelah beberapa jam media tersebut dipanaskan pada suhu 80°C selama beberapa menit. Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang telah dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasi B. thuringiensis. Koloni yang tumbuh pada media ini dicek keberadaan spora atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk isolat B. thuringiensis.
g. Penapisan Isolat yang Toksik
Tidak semua isolat Bt beracun terhadap serangga. Untuk itu perlu dilakukan penapisan daya racun dari isolat-isolat yang telah diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk hal ini. Pertama dengan pendekatan molekular dan kedua dengan bioasai.
Pendekatan molekular dilakukan dengan PCR menggunakan primer-primer yang dapat menggandakan bagian-bagian tertentu dari gen-gen penyandi protein kristal (gen cry). Hasil PCR ini dapat dipakai untuk memprediksi potensi racun dari suatu isolat tanpa terlebih dulu melakukan bioasai terhadap serangga target. Dengan demikian penapisan banyak isolat untuk kandungan gen-gen cry tertentu dapat dilakukan dengan cepat.
Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat maka perlu dilakukan bioasai dengan mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat tersebut kepada serangga target. Dari bioasai ini dapat dibandingkan daya racun antar isolat.
h. Cara Perbanyakan
Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam media cair dapat dilakukan dengan cara yang mudah dan sederhana. Karena yang diperlukan sebagai bioinsektisida adalah protein kristalnya, maka diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media yang mengandung tryptose telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis. Dalam 2–5 hari B. thuringiensis akan bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan pada suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis ini dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan fermentor.
i. Potensi sebagai Bioinsektisida
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau protein kristal Bt dalam bentuk kering atau padatan. Padatan ini dapat diperoleh dari hasil fermentasi sel-sel Bt yang telah disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan spora dan protein kristal yang diperoleh dapat dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi, perekat, perata, dan lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.

#Diambil dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar